REKAYASA GENETIKA DAN “GENETIKA MODIFIED ORGANISM” (GMO) DALAM POLEMIK
BAB I
PENDAHULUAN
BAB I
PENDAHULUAN
Genetika adalah ilmu yang mempelajari seluk beluk alih informasi hayati dari generasi ke generasi. Oleh karena cara berlangsungnya alih informasi hayati tersebut mendasari adanya perbedaan dan persamaan sifat diantara individu organisme, maka dengan singkat dapat pula dikatakan bahwa genetika adalah ilmu tentang pewarisan sifat .Dalam ilmu ini dipelajari bagaimana sifat keturunan (hereditas) itu diwariskan kepada anak cucu, serta variasi yang mungkin timbul didalamnya.
Genetika bisa sebagai ilmu pengetahuan murni, bisa pula sebagai ilmu pengetahuan terapan. Sebagai ilmu pengetahuan murni ia harus ditunjang oleh ilmu pengetahuan dasar lain seperti kimia, fisika dan metematika juga ilmu pengetahuan dasar dalam bidang biologi sendiri seperti bioselluler, histologi, biokimia, fiosiologi, anatomi, embriologi, taksonomi dan evolusi. Sebagai ilmu pengetahuan terapan ia menunjang banyak bidang kegiatan ilmiah dan pelayanan kebutuhan masyarakat. Dengan perkembangan ilmu genetika muncullah beberapa terapan ilmu seperti bioteknologi dan rekayasa genetika.
Rekayasa genetika (transgenik) atau juga yang lebih dikenal dengan Genetically Modified Organism (GMO) dapat diartikan sebagai manipulasi gen untuk mendapatkan galur baru dengan cara menyisipkan bagian gen ke tubuh organisme tertentu. Rekayasa genetika juga merupakan pencangkokan gen atau DNA rekombinan. Penelitian rekayasa genetika telah dimulai awal tahun 1950-an, oleh Dr. Paul Berg dari Stanford University of California (USA), namun hasil yang memuaskan baru diperoleh setelah 20 tahun kemudian. Pada tahun 1973 Stanley Cohen dan Herbert Boyer menciptakan bakteri melalui rekayasa genetika untuk pertama kalinya. Kemudian tahun 1981, pertama kali di kembangkan tikus dan lalat buah produk rekayasa genetika, menyusul pada tahun 1985 Plant Genetic Systems (Ghent, Belgium), sebuah perusahaan yang didirikan oleh Marc Van Montagu dan Jeff Schell, merupakan perusahaan pertama yang mengembangkan tanaman tembakau toleran terhadap hama dengan mengambil protein insektisida dari bakteri Bacillus thuringiensis.
Belakangan ini perkembangan dan pemanfaatan bioteknologi rekayasa genetika atau transgenik atau modifikasi genetika semakin luas hingga tidak bisa dibendung, dimana penggunaannya tidak lagi hanya pada pemenuhan kebutuhan manusia yang sangat memaksa, juga mulai ditemukan banyak kejadian yang menunjukkan dampak negatif dari pemanfaatan modifikasi genetika itu sendiri, penyebarluasan penggunaan modifikasi genetika menuai kontroversi. Dimana para ahli mulai melihat kejadian-kejadian yang merupakan dampak negatif dari modifikasi genetika. Dalam Suara Karya Online edisi 9 Maret 2010 Dr. Rosari Saleh dari Lembaga Penelitian Universitas Indonesia (UI) mengatakan bahwa, “Pada awalnya, teknologi rekayasa genetika ditujukan untuk memperoleh organisme yang identik demi kepentingan riset dan produksi, seperti tanaman pangan dan hewan riset. Modifikasi gen dilakukan dengan memanipulasi kode genetik tumbuhan dan hewan serta merekayasa sifat-sifat tertentu dari kedua makhluk hidup tersebut agar diperoleh organisme yang lebih baik.Kemajuan dalam mengetahui kemampuan kognitif dan kesehatan manusia secara genetika membantu pendidikan dan program penyembuhan, tetapi dapat disalahgunakan untuk mendiskriminasi manusia dengan keterbatasan tertentu dan memperuncing permasalahan sosial. Modifikasi terhadap organisme juga dapat mengarah pada pembuatan senjata biologi."Diantara faktor-faktor yang menjadi sorotan adalah faktor kesehatan masyarakat, dampak perubahan ekologis, sosial-ekonomi,etika dan budaya, maupun religi. Dampak kesehatan dan perubahan ekologis mulai menunjukkan bukti-bukti dari kejadian-kejadian yang terjadi di masyarakat. Dampak sosial-ekonomi,etika dan budaya maupun religi belum menunjukkan bukti nyata sehingga amat sedikit mendapat perhatian. Beberapa ahli sangat menyayangkan sedikitnya perhatian ilmuwan dan pemerintah terhadap pertimbangan-pertimbangan terkait dengan penggunaan dan pelepasan organisme hasil modifikasi genetika, sebagaimana yang dikatakan oleh Elenita C. Dano dalam bukunya yang berjudul Potential Socio-Economis, Cultural and Ethical Impacts of GMOs: Prospects for Socio-Economic Impact Assesment,2007, “Pertimbangan social-ekonomi dan budaya terkait dengan penggunaan dan pelepasan organisme hasil modifikasi genetika cenderung mendapat sedikit perhatian dibandingkan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri”. Teknologi tidak dapat dipisahkan dari konteks masyarakat di mana teknologi tersebut dimanfaatkan. Tidak ada teknologi dalam sejarah dunia, dari penemuan api sampai domestikasi tumbuhan dan hewan, bioteknologi tradisional, Revolusi Industri dan Revolusi Hijau, terjadi di dalam ruang kosong. Oleh karena itu, ruang yang berbeda-beda di dalam masyarakat, baik itu ruang kesehatan, lingkungan, ekonomi, politik, sosial, budaya ataupun etika dan religi, semuanya dipengaruhi oleh penggunaan dan diadopsinya sebuah teknologi, dengan sifat dan kecepatan yang berbeda-beda. Dalam sejarah manusia, inovasi teknologi dan ilmu pengetahuan sangat berdampak pada ruang-ruang tersebut, tidak terkecuali relasi-relasi sosial-ekonomi dan kehidupan politik. Beberapa dampak tidak kasat mata dan dampak lainnya sangat jelas. Secara tidak kasat mata, penerapan pertanian mekanisasi selama periode Revolusi Hijau telah meningkatkan ketidakadilan di antara masyarakat pertanian skala kecil dan skala besar (Conway, 2003) dan menurunkan ketersediaan lapangan kerja bagi perempuan di pertanian (Paris, 1998). Sebagai hasil penamanan padi yang intensif di bawah program Revolusi Hijau, rakyat pedesaan direstrukturisasi oleh lahirnya kelas ekonomi baru para pedagang yang mengkhususkan diri dalam perdagangan beras, dan buruh-buruh tani baru yang bekerja musiman di pertanian padi.
Banyak reaksi yang ditimbulkan masyarakat terhadap pemunculan rekayasa genetika ini, baik pro, kontra maupun tidak peduli. Untuk masyarakat awam, mereka tidak peduli apakah hasil dari rekayasa genetika seperti makanan yang dimakanannya produk transgenik apa tidak, asal menguntungkan, murah, dan isinya kurang lebih sama dengan produk yang bukan transgenik. Contohnya adalah kedelai. Negara kita mengimpor kedelai transgenik dari Amerika yang harganya cukup ekonomis di pasar, sehingga dijadikan bahan baku tempe dan tahu yang dikonsumsi sehari-hari. Dan juga dari buah-buahan impor di supermarket, boleh jadi ada diantaranya yang merupakan produk transgenik namun tidak diberi informasi mengenainya.
Untuk pemaparan lebih lanjut akan dibahas pada bab selanjutnya.
Rekayasa genetika (transgenik) atau juga yang lebih dikenal dengan Genetically Modified Organism (GMO) dapat diartikan sebagai manipulasi gen untuk mendapatkan galur baru dengan cara menyisipkan bagian gen ke tubuh organisme tertentu. Rekayasa genetika juga merupakan pencangkokan gen atau DNA rekombinan. Penelitian rekayasa genetika telah dimulai awal tahun 1950-an, oleh Dr. Paul Berg dari Stanford University of California (USA), namun hasil yang memuaskan baru diperoleh setelah 20 tahun kemudian. Pada tahun 1973 Stanley Cohen dan Herbert Boyer menciptakan bakteri melalui rekayasa genetika untuk pertama kalinya. Kemudian tahun 1981, pertama kali di kembangkan tikus dan lalat buah produk rekayasa genetika, menyusul pada tahun 1985 Plant Genetic Systems (Ghent, Belgium), sebuah perusahaan yang didirikan oleh Marc Van Montagu dan Jeff Schell, merupakan perusahaan pertama yang mengembangkan tanaman tembakau toleran terhadap hama dengan mengambil protein insektisida dari bakteri Bacillus thuringiensis.
Belakangan ini perkembangan dan pemanfaatan bioteknologi rekayasa genetika atau transgenik atau modifikasi genetika semakin luas hingga tidak bisa dibendung, dimana penggunaannya tidak lagi hanya pada pemenuhan kebutuhan manusia yang sangat memaksa, juga mulai ditemukan banyak kejadian yang menunjukkan dampak negatif dari pemanfaatan modifikasi genetika itu sendiri, penyebarluasan penggunaan modifikasi genetika menuai kontroversi. Dimana para ahli mulai melihat kejadian-kejadian yang merupakan dampak negatif dari modifikasi genetika. Dalam Suara Karya Online edisi 9 Maret 2010 Dr. Rosari Saleh dari Lembaga Penelitian Universitas Indonesia (UI) mengatakan bahwa, “Pada awalnya, teknologi rekayasa genetika ditujukan untuk memperoleh organisme yang identik demi kepentingan riset dan produksi, seperti tanaman pangan dan hewan riset. Modifikasi gen dilakukan dengan memanipulasi kode genetik tumbuhan dan hewan serta merekayasa sifat-sifat tertentu dari kedua makhluk hidup tersebut agar diperoleh organisme yang lebih baik.Kemajuan dalam mengetahui kemampuan kognitif dan kesehatan manusia secara genetika membantu pendidikan dan program penyembuhan, tetapi dapat disalahgunakan untuk mendiskriminasi manusia dengan keterbatasan tertentu dan memperuncing permasalahan sosial. Modifikasi terhadap organisme juga dapat mengarah pada pembuatan senjata biologi."Diantara faktor-faktor yang menjadi sorotan adalah faktor kesehatan masyarakat, dampak perubahan ekologis, sosial-ekonomi,etika dan budaya, maupun religi. Dampak kesehatan dan perubahan ekologis mulai menunjukkan bukti-bukti dari kejadian-kejadian yang terjadi di masyarakat. Dampak sosial-ekonomi,etika dan budaya maupun religi belum menunjukkan bukti nyata sehingga amat sedikit mendapat perhatian. Beberapa ahli sangat menyayangkan sedikitnya perhatian ilmuwan dan pemerintah terhadap pertimbangan-pertimbangan terkait dengan penggunaan dan pelepasan organisme hasil modifikasi genetika, sebagaimana yang dikatakan oleh Elenita C. Dano dalam bukunya yang berjudul Potential Socio-Economis, Cultural and Ethical Impacts of GMOs: Prospects for Socio-Economic Impact Assesment,2007, “Pertimbangan social-ekonomi dan budaya terkait dengan penggunaan dan pelepasan organisme hasil modifikasi genetika cenderung mendapat sedikit perhatian dibandingkan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri”. Teknologi tidak dapat dipisahkan dari konteks masyarakat di mana teknologi tersebut dimanfaatkan. Tidak ada teknologi dalam sejarah dunia, dari penemuan api sampai domestikasi tumbuhan dan hewan, bioteknologi tradisional, Revolusi Industri dan Revolusi Hijau, terjadi di dalam ruang kosong. Oleh karena itu, ruang yang berbeda-beda di dalam masyarakat, baik itu ruang kesehatan, lingkungan, ekonomi, politik, sosial, budaya ataupun etika dan religi, semuanya dipengaruhi oleh penggunaan dan diadopsinya sebuah teknologi, dengan sifat dan kecepatan yang berbeda-beda. Dalam sejarah manusia, inovasi teknologi dan ilmu pengetahuan sangat berdampak pada ruang-ruang tersebut, tidak terkecuali relasi-relasi sosial-ekonomi dan kehidupan politik. Beberapa dampak tidak kasat mata dan dampak lainnya sangat jelas. Secara tidak kasat mata, penerapan pertanian mekanisasi selama periode Revolusi Hijau telah meningkatkan ketidakadilan di antara masyarakat pertanian skala kecil dan skala besar (Conway, 2003) dan menurunkan ketersediaan lapangan kerja bagi perempuan di pertanian (Paris, 1998). Sebagai hasil penamanan padi yang intensif di bawah program Revolusi Hijau, rakyat pedesaan direstrukturisasi oleh lahirnya kelas ekonomi baru para pedagang yang mengkhususkan diri dalam perdagangan beras, dan buruh-buruh tani baru yang bekerja musiman di pertanian padi.
Banyak reaksi yang ditimbulkan masyarakat terhadap pemunculan rekayasa genetika ini, baik pro, kontra maupun tidak peduli. Untuk masyarakat awam, mereka tidak peduli apakah hasil dari rekayasa genetika seperti makanan yang dimakanannya produk transgenik apa tidak, asal menguntungkan, murah, dan isinya kurang lebih sama dengan produk yang bukan transgenik. Contohnya adalah kedelai. Negara kita mengimpor kedelai transgenik dari Amerika yang harganya cukup ekonomis di pasar, sehingga dijadikan bahan baku tempe dan tahu yang dikonsumsi sehari-hari. Dan juga dari buah-buahan impor di supermarket, boleh jadi ada diantaranya yang merupakan produk transgenik namun tidak diberi informasi mengenainya.
Untuk pemaparan lebih lanjut akan dibahas pada bab selanjutnya.
BAB II
REKAYASA GENETIKA
REKAYASA GENETIKA
2.1. Pengertian Rekayasa Genetika
Rekayasa genetika merupakan transplantasi atau pencangkokan satu gen ke gen lainnya dimana dapat bersifat antar gen dan dapat pula lintas gen sehingga mampu menghasilkan produk. Rekayasa genetika juga diartikan sebagai perpindahan gen. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003) rekayasa genetika dapat diartikan sebagai ilmu dari cabang biologi yang berhubungan dengan prinsip keturunan dan variasi pada binatang dan tumbuhan jenis yang sama. Namun demikian dewasa ini rekayasa genetika tidak hanya berlaku pada hewan dan tumbuhan yang sejenis tetapi telah berkembang pada manusia dan lintas jenis. Dalam rekayasa genetika dapat diperoleh suatu sifat yang menguntungkan dari sutu organisme yang dapat diatransfer pada organisme lain. Sebagaimana telah diketahui bahwa gen merupakan pembawa sifat pada organisme, maka pemindahan suatu sifat dapat dilakukan dengan merekayasa gen-gen tertentu pada mahkluk hidup tertentu. Teknologi Rekayasa Genetika merupakan inti dari bioteknologi yang didefinisikan sebagai teknik in-vitro asam nukleat, termasuk DNA rekombinan dan injeksi langsung DNA ke dalam sel atau organel, atau fusi sel di luar keluarga taksonomi; yang dapat menembus rintangan reproduksi dan rekombinasi alami, dan bukan teknik yang digunakan dalam pemuliaan dan seleksi tradisional.
Prinsip dasar teknologi rekayasa genetika adalah memanipulasi atau melakukan perubahan susunan asam nukleat dari DNA (gen) atau menyelipkan gen baru ke dalam struktur DNA organisme penerima. Gen yang diselipkan dan organisme penerima dapat berasal dari organisme apa saja. Misalnya, gen dari sel pankreas manusia yang kemudian diklon dan dimasukkan ke dalam sel E. Coli yang bertujuan untuk mendapatkan insulin.
2.2. Tujuan Rekayasa Genetika
Pada awalnya rekayasa genetika hanya dilakukan pada tanaman dan hewan yang tujuannya umumnya adalah untuk kesejahteraan manusia. Rekayasa genetika pada tanaman mempunyai target dan tujuan antara lain peningkatan produksi, peningkatan mutu produk supaya tahan lama dalam penyimpanan pascapanen, peningkatan kandunagn gizi, tahan terhadap serangan hama dan penyakit tertentu (serangga, bakteri, jamur, atau virus), tahan terhadap herbisida, sterilitas dan fertilitas serangga jantan (untuk produksi benih hibrida), toleransi terhadap pendinginan, penundaan kematangan buah, kualitas aroma dan nutrisi, perubahan pigmentasi.
Rekayasa Genetika pada mikroba bertujuan untuk meningkatkan efektivitas kerja mikroba tersebut (misalnya mikroba untuk fermentasi, pengikat nitrogen udara, meningkatkan kesuburan tanah, mempercepat proses kompos dan pembuatan makanan ternak, mikroba prebiotik untuk makanan olahan), dan untuk menghasilkan bahan obat-obatan dan kosmetika.
2.3. Manfaat Rekayasa Genetika
Banyak manfaat yang diperoleh dari penggunaan dan pemanfaatan rekayasa genetika, diantaranya adalah sebagai berikut:
a) Tersedianya bahan makanan yang melimpah.Dengan pemanfaatan rekayasa genetika di bidang pertanian, akan meningkatkan jumlah panen di tanah yang luasnya terbatas, tanah miskin, atau kawasan yang rawan banjir . Varietas baru MG menjanjikan keuntungan besar. Tanaman pangan bisa direkayasa sehingga mampu tumbuh di tanah yang kandungan alumuniumnya tinggi atau mampu bertahan hidup lama di dalam air, tanah tandus dan miskin hara , serta wilayah rawan banjir .
b) Meningkatkan Nutrisi Seperti kacang kedelai hasil rekayasa genetika pertanian, lebih banyak mengandung protein. Sama seperti beras yang direkayasa sehingga mengandung zat besi, yang berguna untuk mengatasi anemia.
c) Meningkatnya derajat kesehatan manusia. Apabila nutrisi terpenuhi dengan baik otomatis akan meningkatkan kesehatan masyarakat. Dan dengan diproduksinya berbagai hormon manusia seperti insulin dan hormon pertumbuhan lainnya sangat membantu perbaikan kesehatan masyarakat.
d) Tersedianya sumber energy yang terbaharui.
e) Proses industri yang lebih murah, efisien dan efektif.Modifikasi genetika dapat mengurangi biaya produksi ( seperti tenaga kerja) namun tetap menghasilkan produk yang melimpah dan tidak banyak menghabiskan waktu.
f) Berkurangnya polusi.Rekayasa genetika dapat dimanfaatkan guna pelestarian dan rehabilitasi hutan yang gundul.
g) Bahan kimia lebih resisten terhadap serangga hama tertentu akan mengurangi ketergantungan terhadap pestisida. Dengan tanaman yang menghasilkan zat herbisida (pembunuh rumput), maka petani hanya perlu menyemprot setahun sekali dan dan tidak tiga kali.
Penerapan Rekayasa Genetika pada berbagai bidang, antara lain:
a) Bidang pertanian dan bahan pangan
- Ditemukannya tomat Flavr Savr yang tahan
- Ditemukannya sapi dengan produksi susu meningkat 20%
- Ditemukannya kopi super
- Ditemukannya tanaman ber-pestisida
- Ditemukannya vaksin penyakit mulut dan kuku
- Jagung dengan protein tinggi
b) Bidang kesehatan dan farmasi
- Diproduksinya insulin dengan cepat dan murah
- Adanya terapi genetic
- Diproduksinya interferon
- Diproduksinya beberapa hormon pertumbuhan
c) Bidang Industri
- Terciptanya bakteri yang mampu membersihkan lingkungan tercemar
- Bakteri yang dapat mengubah bahan tercemar menjadi bahan tidak berbahaya
- Bateri pembuat aspartanik
2.4. Faktor-faktor yang Mendorong Berkembangnya Rekayasa Genetika
Pada akhir tahun 1970-an, genetika memasuki suatu era baru yang didominasi oleh penggunaan teknologi DNA rekombinan atau rekayasa genetika untuk menghasilkan bentuk-bentuk kehidupan baru yang tidak ditemukan di alam.
Faktor-faktor yang mendorong berkembangnya Rekayasa Genetika antara lain:
1. Ditemukannya enzim pemotong DNA yaitu enzim restriksi endonuklease
2. Ditemukannya pengatur ekspresi DNA yang diawali dengan penemuan operon laktosa pada prokariota
3. Ditemukannya perekat biologi yaitu enzim ligase
4. Ditemukannya medium untuk memindahkan gen ke dalam sel mikroorganisme
Sejalan dengan penemuan-penemuan penting itu, perkembangan di bidang biostatistika, bioinformatika dan robotika/automasi memainkan peranan penting dalam kemajuan dan efisiensi kerja bidang ini.
2.5. Mekanisme Rekayasa Genetika
Rekayasa genetika dengan teknik transformasi dan pencangkokan DNA gen-gen mikroba, diperlukan unsur-unsur seperti plasmid, enzim dan transformasi.
Plasmid Merupakan lingkaran DNA kecil yang dapat bereplikasi sendiri,terdapat pada kromosom bakteri dan eukariota seluler. Plasmid berfungsi untuk memelihara sejumlah ciri-ciri yang stabil. Plasmid dalam rekayasa genetika berperan sebagai vector (pemindah). Enzim berfungsi sebagai gunting biologi yang dapat mengenal dan kemudian memotong bagian-bagian tertentu dari sebuah molekul DNA sehingga dapat membongkar sel-sel bakteri, virus, hewan dan tanaman untuk diambil DNA yang diingkan. Transformasi untuk mengambil, memasukkan, memotong dan menempel DNA ke dalam tubuh organism lain harus dengan plasmid yang berperan sebagai vektor.
Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam rekaya dapat mengenal sa genetika genetika secara sederhan urutannya sebsi sebagai berikut :
1. Mengindetifikasikan gen dan mengisolasi gen yang diinginkan.
2. Membuat DNA/AND salinan dari ARN Duta.
3. Pemasangan cDNA pada cincin plasmid
4. Penyisipan DNA rekombinan kedalam tubuh/sel bakteri.
5. Membuat klon bakteri yang mengandung DNA rekombinan
6. Pemanenan produk.
BAB III
REKAYASA GENETIKA DAN GENETIK MODIFIED ORGANISM
REKAYASA GENETIKA DAN GENETIK MODIFIED ORGANISM
(GMO) DALAM POLEMIK
Suatu teknologi dapat memberi manfaat yang besar bagi kesejahteraan manusia, akan tetapi tidaklah mutlak tanpa resiko, begitu juga dengan rekayasa genetika. Dan perbandingan antara manfaat dan dampak yang diperoleh dari penggunaan teknologi rekayasa genetika ini menyebabkan kontroversi, sehingga rekayasa genetika dapat dikatakan dalam polemik. Modifikasi genetik banyak dimanfaatkan dalam produksi makanan dan tanaman, dan diakui memberi manfaat yang tidak kecil meski juga disadari memberi dampak yang tidak bisa dianggap sepele. Oleh karenanya tak salah jika Jepang dan Eropa memperlihatkan sikap sangat menentang pangan hasil olahan dari tanaman modifikasi genetika ini. Dan di Indonesia sudah ditanam dan diimpor dalam jumlah besar, terutama kacang kedelai. AS mengekspor 50% kacang kedelai-nya ke Indonesia. Catatan lain; Greenpeace, beberapa waktu lalu berhasil menghalau satu kapal penuh kacang kedelai dari Amerika untuk dikembalikan. Kacang ini adalah panen dari tanaman modifikasi genetika. Greenpeace tetap menolak, meskipun kacang impor itu ditujukan untuk pa ngan sapi atau ayam potong. Greenpeace beralasan, efek samping pangan modifikasi genetika itu akan tetap masuk jika manusia memakan dagingdari hewan yang mengkonsumsi kacang kedelai hasil modifikasi genetika itu. Di India, ribuan ternak mati setelah diberi makan tanaman kapas modifikasi genetik, ribuan pekerja peternakan yang mengalami ruam di seluruh badannya setelah memetik kapasnya,dan masih banyak peristiwa lain yang menunjukkan bahwa rekayasa genetika membawa dampak yang tidak kecil.
2.1. Dampak Rekayasa Genetik
Adapun beberapa dampak dari rekayasa genetik, antara lain :
2.1.1. Dampak Kesehatan
Beberapa yang merupakan dampak negatif dari penggunaan rekayasa genetika bagi kesehatan, adalah
a. Bahan Alergi Baru Manipulasi Genetika sering menggunakan protein dari organisme yang tidak pernah menjadi bahan makanan. Dan sebagian besar bahan alergi makanan berasal dari protein. Menurut Sitepoe (dalam S.T.Jahrin), sampai saat ini dampak negatif penggunaan OHMG pada manusia, telah ditemukan dalam bentuk alergi. Dalam uji coba dengan menggunakan skin patch test terhadap kacang kedelai transgenik dari Brazil, hasilnya menunjukkan adanya reaksi alergi.Semua tanaman yang dimodifikasi secara genetik mengandung DNA bakteri. DNA ini berisi suatu elemen genetik (yang disebut motif ‘CpG’) yang menstimulasi sistem kekebalan untuk memulai rangkaian reaksi yang menyebabkan peradangan. Pemberitahuan mengenai elemen genetik ini mungkin menyebabkan peradangan, arthritis dan lymphoma (penyakit darah yang menular).
b. Resistensi terhadap antibiotik Gen resistensi-antibiotik sering digunakan sebagai "penanda" untuk menyeleksi sel-sel transgenetik dan ada kemungkinan merasuki manusia atau organisme lain. Hal ini akan menyebabkan persoalan baru bagi kesehatanMasalah kesehatan berkaitan dengan kemungkinan makin beratnya masalah bakteri yang berkemampuan besar mengalahkan antibiotik. Masalah makin pelik jika bakteri itu resisten terhadap multi-antibiotik. Dalam rekayasa-biologis , gen penanda yang resisten terhadap antibiotik secara reguler "dimasukkan" bersama gen asing untuk digunakan sebagai alat penyaring. Jika bibit baru tetap hidup, meskipun dikenai antibiotik maka berarti tanaman itu sudah berhasil di modifikasi gen-nya. British Medical Association, Mei 1999, memperingatkan jika bakteri di perut berhasil menarik gen yang resisten terhadap antibiotik, maka bakteri itu juga akan resisten terhadap antibiotik. Bagi kita, ini sama saja dengan penyakit yang tidak bisa diobati oleh antibiotik yang akan membuat banyak sekali orang susah
c. Susu sapi yang disuntik dengan hormone BGH disinyalir mengandung bahan kimia baru yang punya potensi berbahaya bagi kesehatan manusia.
Kontroversi Produk Transgenik memiliki dampak terhadap kesehatan manusia, seperti alergi, transfer penanda antibiotik, dan efek potensial yang tidak diketahui.
2.1.2. Dampak Ekologis
Dampak ekologis rekayasa genetik atau modifikasi genetik (MG) akan mengganggu tekstur dan struktur tanah, para peneliti Amerika telah menemukan bukti kuat kemungkinan kerusakan ekologis ini melalui Kupu-Kupu Monarch. Larva kupu-kupu mati ketika makan daun, yang disemprotkan bubuk jagung MG (diberi gen Bt). Hal ini memperlihatkan serangga , yang bukan sasaran, bisa mati oleh racun bacteria yang dibuat oleh tanaman Modifikasi Genetika. Selain itu, akar Jagung MG (diberi gen Bt) telah meracuni tanah dan tetap beracun selama tujuh bulan setelah tanaman dipanen. Racun ini berasal dari sisa tanaman transgenik yang masih mengandung toksin yang dapat mencegah serangan hama dalam tanah bagi tanaman tetapi juga sekaligus mematikan mikroorganisme dan organism di dalam tanah sehingga terjadi degradasi bakteri (mikroorganisme) maupun organisme di dalam tanah, yang akan mengubah struktur dan tekstur tanah dalam jangka waktu tertentu. Selain itu, endotoksin yang dihasilkan dapat membunuh beberapa jenis insekta (serangga) tertentu, sehingga dapat mengganggu ekosistem jenis insekta di atas tanah. Kekuatirannya , racun itu akan membunuhi serangga- serangga yang dibutuhkan untuk menyehatkan tanah.Selain itu, endotoksin yang dihasilkan dapat membunuh beberapa jenis insekta (serangga) tertentu, sehingga dapat mengganggu ekosistem jenis insekta di atas tanah. Kekuatirannya , racun itu akan membunuhi serangga- serangga yang dibutuhkan untuk menyehatkan tanah. Gen Bt dikenal luas dikalangan pabrikan bibit tanaman MG. Gen ini dimasukkan kedalam tanaman kapas, beras, dan kacang kedelai. Tehnik ini dilakukan oleh seluruh perusahaan bioteknologi dan organisasi riset. Para pemerhati lingkungan juga kuatir pemakaian jangka panjang dan luas gen Bt dalam tanaman MG akan menyebabkan hama dan gulma dengan cepat jadi imun, sehingga memusnahkan harapan penggunaan pestisida alamiah. Sebuah penelitian menyebutkan pemakaian pestisida kimia malah akan meningkat karena racun Bt tidak mempan terhadap serangga penghisap batang seperti aphids.Hal ini akan mengganggu tanaman juga mempengaruhi ekosistem tumbuh-tumbuhan. Dan lama-kelamaan akan resistens terhadap pestisida. Akibatnya, racun-racun biasa jadi tidak efektif lagi Dengan berbagai ragam kehadiran MG dikhawatirkan juga akan mengakibatkan adanya polusi gen di muka bumi. Lalu muncul biodiversity atau keanekaragaman hayati yang akan mendominasi bumi, sehingga plasma nuftah baik hewan maupun tumbuh-tumbuhan akan mengalami degradasi, seperti yang dialami oleh bakteri. Maka punahlah plasma nuftah yang kita miliki. Selain itu, munculnya virus baru , rumput baru dan resistensi terhadap hama juga merupakan akibat dari rekayasa genetika. Virus baru; gen viral di tanaman yang direkayasa agar tanaman kebal terhadap virus mungkin saja terkombinasi lagi dengan microba lain untuk menghasilkan virus hibrida yang lebih berbahaya. Rumput Baru ; dalam lingkungan lebih luas, perkawinan antar tanaman kemungkinan menghasilkan "rumput super". Tanaman hasil rekayasa kemungkinan akan terbawa ke luar lahan pertanian dan meluas, sehingga merusak seluruh ekosistem.
Bentuk nyata lain penggunaan hasil rekayasa genetika yang pernah dijumpai adalah adanya gangguan lingkungan berupa tanaman yang mempergunakan bibit rekayasa genetika menghasilkan pestisida. Setelah dewasa, tanaman transgenik yang tahan hama, tanaman menjadi mati dan berguguran ke tanah. Bakteri dan jasad renik lainnya yang dijumpai pada tanah tanaman tersebut mengalami kematian. Kenyataan di lapangan, bahwa hasil transgenik akan mematikan jasad renik dalam tanah sehingga dalam jangka panjang di khawatirkan akan memberikan gangguan terhadap struktur dan tekstur tanah. Selain hal tersebut juga dikhawatirkan pada areal tanaman transgenetik sesudah bertahun-tahun akan memunculkan gurun pasir (Satiawihardja, 1997). Kekhawatiran terhadap efisiensi penggunaan hewan transgenik juga terjadi di Meksiko, Animal Welfare Committee (2006) menyatakan bahwa penggunaan bovinesomatothropine kepada sapi meningkatkan produksi susu 25 persen, tetapi penggunaan pakan meningkat sehingga tidak ada efisiensi.
2.1.3. Dampak Sosial-Ekonomi
Produsen produk hasil rekayasa genetik umumnya tidak transparan, bahkan merahasiakan kegagalan-kegagalan dan dampak negatif yang mungkin timbul. Negara-negara yang memproduksi dan memasarkan hasil rekayasa genetik juga selalu menekan negara berkembang dan miskin untuk membeli dan memakai
produk tersebut dengan berbagai cara.
Dampak transgenetika terhadap sosial-ekonomi juga seharusnya menjadi pertimbangan penggunaan dan penyebarluasan organisme hasil modifikasi genetika. Dampak sosial-ekonomi ini juga mendapat pengakuan dari masyarakat internasional, bahkan Protokol Cartagena tentang Biosafety mencantumkan pertimbangan social ekonomi sebagai komponen penting dalam proses pengambilan keputusan biosafety.
Menurut Elenita C. Dano pentingnya memberikan porsi perhatian yang besar tehadap potensi dampak sosial-ekonomi transgenik ini didasari oleh nilai-nilai pentingnya seperti:
a) Tanggung jawab sosial
Memperhatikan potensi dampak sosial-ekonomi dari inovasi teknologi yang terjadi jauh diluar laboratorium dan rumah kaca yang terkendali adalah sebagai bentuk tanggung jawab moral dan etika. Ini menunjukkan bahwa peran para ilmuwan dan pengembang teknologi tidak selesai ketika teknologi tersebut keluar dari laboratorium, bahkan menjadi semakin penting ketika teknologi tersebut diterapkan di masyarakat.
b) Tanggung Jawab Antar Generasi
Tujuan sebuah teknologi harus menyumbang kepada pembangunan berkelanjutan, guna kepentingan dan kebutuhan generasi masa sekarang dan masa depan karena dampak sosial-ekonomi teknologi akan dirasakan dari generasi ke generasi.
c) Penerimaan Masyarakat Pertimbangan yang serius akan potensi dampak sosial-ekonomi transgenik secara otomatis akan membawa para pengembang dan pembuat kebijakan untuk memiliki kepekaan lebih baik atas penerimaan masyarakat akan teknologi dan/atau produk-produknya. Karena penggunaan hasil teknologi tidak terlepas dari masyarakat.
d) Mengurangi Biaya Jangka Panjang Keprihatinan utama dalam dampak sosial-ekonomi transgenik adalah biaya yang terkait proses-proses dari luasnya partisipasi para pihak, pelaku, serta kurun waktu yang diperlukan untuk melalui proses-proses tersebut. Sehingga dengan pertimbangan dampak sosial-ekonomi dalam pembuatan keputusan tentang transgenik, maka biaya sosial, ekonomi, dan budaya yang tidak dapat ditarik kembali kemungkinan dapat dihapus atau diminimalkan.
Dampak potensial dari transgenik dalam konteks masyarakat miskin dan pedesaan, memperbesar ketidakadilan pendapatan dan distribusi kekayaan sehingga menambah kesenjangan ekonomi, karena input rekayasa genetika itu tidak dapat diakses oleh masyarakat miskin pedesaan. Industri yang mengembangkan produk transgenik menutup biaya investasi penelitian dan pengembangan mereka melalui sistem hak kekayaan intelektual (HKI) dan skema marketing, dan dengan keuntungan dari penjualan produk-produk tersebut. Karena segmentasi harga adalah praktik bisnis yang tidak sehat, benih-benih transgenik biasanya dijual dengan harga standard di sebuah negara tempat benih-benih tersebut dikomersialisasikan, di mana harga yang sama berlaku untuk semua petani apakah ia kaya atau miskin.
Seperti di Filipina, MON 810 (jagung Bt dengan transformasi gen cry 1ab dari bakteri tanah Bacillus thuringiensis) milik Monsanto dijual dengan harga dua kali lipat dari harga varietas benih jagung hibrida yang bukan hasil modifikasi genetika. Sedikitnya 60% petani jagung tidak memiliki lahan yang mereka garap, harga ini sangat mahal. Dengan kenyataan pasar itu, Monsanto menerapkan skema pemasaran yang utamanya menawarkan produk-produk jagung Bt kepada para petani kaya dan berpenghasilan menengah yang mampu membayar lebih tinggi harga benih-benih tersebut sebagai jaminan atas kerusakan yang ditimbulkan penyakit penggerek jagung. Dengan jaminan klaim perusahaan, dengan membeli jagung Bt mereka akan mendapat manfaat yang dijanji-janjikan itu, maka pihak yang diuntungkan adalah para petani yang sanggup membayar harga benih dan mereka yang telah berpendapatan relatif tinggi untuk memulai usahanya. Kondisi ini diperkirakan akan memperhebat persoalan ketidakadilan pendapatan dan distribusi kekayaan di pedesaan.
Sementara beberapa pihak berpendapat akan ada peningkatan pendapatan di kalangan petani kaya yang akan berkontribusi kepada investasi dan penciptaan lapangan kerja di pedesaan, namun skenario tersebut sangat bergantung pada apakah janji-janji panen lebih baik dan pendapatan lebih tinggi dengan menanam tanaman hasil modifikasi genetika dapat menjadi kenyataan atau tidak. Pernyataan tersebut juga terkait dengan harapan keuntungan yang ‘menetes’ dari para petani yang akan mendapat keuntungan dari tanaman hasil modifikasi genetika ke petani yang tidak mampu membayar teknologi tersebut
Bertambahnya angka pengangguran sebagai efek dari rekayasa genetika, khususnya di negara-negara berkembang. Umumnya benih hasil modifikasi genetika dikembangkan oleh industri bioteknologi berbasis kebutuhan dan kondisi petani negara maju yang pertaniannya sebagian besar berskala industri. Kondisi industri pertanian, dengan biaya dan ketersediaan tenaga kerja merupakan faktor produksi utama, sangat berbeda jauh dengan keadaan pertanian berbasis rumah tangga yang merupakan ciri pertanian di banyak negara berkembang di mana tenaga kerja tersedia dalam jumlah melimpah, dan seringkali murah harganya.
Contohnya penerapan tanaman hasil modifikasi genetika yang tahan herbisida bisa menghapus kebutuhan akan tenaga untuk penyiangan dan penggarapan lahan saat persiapan lahan, dan akan menjadi dampak mematikan jangka panjang pada tenaga kerja pedesaan. Tenaga kerja yang dibutuhkan di pertanian akan berkurang karena tanaman tersebut akan mengurangi peluang kerja bagi buruh tani miskin, khususnya di pedesaan yang tinggi tingkat penganggurannya.
Beberapa pihak berpendapat, penggunaan benih hasil modifikasi genetika yang lebih mahal dari benih-benih konvensional tapi membutuhkan lebih sedikit tenaga kerja akan membuat usaha tani lebih ekonomis daripada mempekerjakan buruh tani, karena mereka tidak hanya harus dibayar sesuai aturan upah yang berlaku namun standard-standard buruh pertanian juga harus ditaati dan diperhatikan. Argumen tersebut menguatkan dampak merusak potensial tanaman modifikasi genetika terhadap relasi sosial-ekonomi di pedesaan dan distribusi pendapatan secara keseluruhan.
Hal ini menjadi masalah lebih besar dimana penggunaan benih modifikasi genetika yang hemat tenaga kerja itu secara teoritis dapat menciptakan surplus ekonomi lebih tinggi yang akan berkontribusi kepada peningkatan investasi dan penciptaan lapangan kerja. Namun kecenderungan global dalam penurunan investasi di pedesaan dan berkurangnya sumbangan pertanian kepada pendapatan nasional secara keseluruhan dari hasil pertanian tidak diinvestasikan kembali di sektor pertanian untuk bermanfaat bagi kaum miskin pedesaan.
Para pengembang dan pembuat kebijakan tidak dapat lolos dari dimensi etika dari penerapan transgenik tanpa mengkaji dengan hati-hati potensi dampak sosial-ekonominya. Berbeda dengan laboratorium dan rumah kaca di mana semua faktor dan kondisi berada dalam kendali para ilmuwan yang melakukan penelitian, kekuatan sosial dan ekonomi berada di luar kendali siapapun. Sehingga tanggung jawab etika sangat penting untuk memperkuat kebutuhan kajian mendalam mengenai pertimbangan sosial-ekonomi sebelum transgenik dilepas ke masyarakat.
2.1.4. Dampak Agama
Modifikasi genetika juga berdampak pada religi atau masalah agama, dimana sebagian orang masih mempermasalahkan kehalalan produknya. Terlebih apabila penggunaannya sudah diterapkan pada manusia, sehingga akan mengaburkan asal-usul dari seseorang. Bahtsul Masail pada Munas NU (Lombok Tengah, 17-20 Nopember 1997) menyepakati tentang hukum cloning gen pada manusia hukumnya haram. Alasannya, proses tanasul (berketurunan) harus melalui pernikahan secara syar'i.
Fatwa yang sama diputuskan oleh MUI, pada Munas VI (25-29 Juli 2000) menetapkan hukum cloning terhadap manusia, dengan cara bagaimana pun yang berakibat pada pelipatgandaan manusia hukumnya adalah haram. Bahkan, dalam fatwa MUI tersebut mewajibkan kepada semua pihak yang terkait untuk tidak melakukan atau mengizinkan eksperimen atau praktik cloning terhadap manusia.
Majlis Tarjih melalui media resminya, jurnal ilmiah ke-Islaman, Tarjih, edisi ke-2 Desember 1997 secara khusus pernah menurunkan tema 'Klonasi (Cloning) menurut Tinjauan Islam'. Kesimpulan dari sejumlah artikel dalam jurnal tersebut menyatakan bahwa penerapan cloning untuk memproduksi manusia akan menjadi masalah. Pembolehannya hanya jika dalam keadaan darurat.
Ulama dari sejumlah lembaga fatwa di dunia Islam juga mengharamkan cloning manusia, antara lain, Akademi Fikih Islam Liga Dunia Muslim dalam pertemuannya yang ke-10 di Jeddah pada tahun 1997 yang menetapkan bahwa: ”Cloning manusia, apa pun metode yang digunakan dalam reproduksi manusia itu adalah sesuatu yang tidak Islami dan sepatutnya dilarang keras".
Disepakati juga bahwa semua manipulasi (yang berhubungan dengan reproduksi manusia) dengan cara melibatkan elemen pihak ketiga (di luar ikatan perkawinan), baik berupa rahim, ovum, atau sperma adalah tidak sah.
Ijtihād jamā’i dari dunia Islam, di antaranya, Majma' Buhūts Islāmiyyat dari Al-Azhar Mesir telah mengeluarkan fatwa dan imbauan bahwa "cloning manusia adalah haram dan harus diperangi serta dihalangi dengan berbagai cara".
Al-Majma’ al-Fiqh al-Islāmi, Rabithat al-‘Ālam al-Islāmi dalam sidangnya ke-15 pada 31 Oktober 1998 juga berpendapat serupa, demikian pula orang yang melakukannya. Alasannya, termasuk tindakan intervensi atas penciptaan manusia, hal tersebut berlawanan dengan berbagai ketentuan ayat Alquran tentang proses penciptaan manusia (Q.s. al-Hujurāt (49):13, al-Tīn (95):4, al-Sajdat (32):7-8, al-Taghābun (64):3, al-Thāriq (86):7, al-Nisā'(4):119), akan merancukan nasab (Q.s. al-Furqān (25):54), satu-satunya cara berketurunan yang dibenarkan syarak hanya dengan adanya pasangan laki-laki dan perempuan (Q.s. al-Rūm (30):21, al-Furqān (2)5:54), merusak sistem pranata sosial berkeluarga, dan ketiadaan perbedaan serta keberagaman sunnah Allah dalam penciptaan manusia yang merefleksikan kesempurnaan ciptaan Allah (Q.s. al-Rūm (30):22). Di samping itu, lembaga ini merasa perlu adanya undang-undang yang sifatnya internasional melarang dipraktikkan cloning manusia.
Menjelang New Millenium, dunia dikejutkan oleh ditemukannya sebuah cara baru dalam hal proses berkembang-biaknya mahluk hidup. Proses kembang biak yang dikenal dengan istilah Kloning itu dinyatakan bisa menghasilkan anakan yang persis sama dengan induknya secara a-seksual (tanpa melalui pembuahan). Adalah Professor Jerry L. Hall, yang pertama berhasil melakukan percobaan Kloning. Konon, peneliti dari Washington University ini pernah membelah embrio manusia menjadi beberapa bagian, sampai masing-masing bagian tersebut berhasil dibiakkan menjadi embrio yang sama. Menyusul kemudian : Dr. Tim Cohen dari Inggris. Ia ditengarai berhasil “membantu” Maureen Ott melahirkan seorang anak perempuan yang dinamai Emma Ott, setelah sebelumnya melalui proses pengkloningan.
Disaat Dr. Ian Walmut, Direktur Tim Roslin Institute, mempublikasikan keberhasilannya dalam mengkloning sel kelenjar susu domba ras dorset asal Finlandia menjadi seekor domba normal, polemik yang sebelumnya hanya riak-riak kecil saja, berubah meluap ke permukaan. Polemik mengenai teknologi kloning itu semakin bertambah panas, ketika Dr. Martine Nijs, peneliti medik asal Belgia, mengaku telah berhasil mengkloning bocah kembar sejak tahun 1993. Menurut Nijs, ketika ia mempublikasikan hal tersebut, tepat pada 9 Maret 1997, klon bocah kembar itu masih terus mengalami masa pertumbuhan.
Reaksi masyarakat dunia begitu keras menyoroti dampak, serta mempertanyakan etika teknologi rekayasa genetika. Mayoritas masyarakat dunia memandang ide tersebut sebagai sesuatu yang buruk, rubbish, dan mencampuri wilayah otoritas Tuhan. “Teknologi kloning memperlihatkan betapa kita sudah kehilangan rasa hormat kepada makhluk hidup,”ujar Paus Yohannes Paulus II dalam The Washington Post. “Ada banyak makhluk hidup yang perlu dihormati, bukan hanya digunakan untuk memuaskan nafsu tertentu saja,” tambah Douglas Bruce, direktur Church Of Scotland, yang berlokasi di propinsi tempat diumumkannya penemuan domba kloning Dolly. Dan di Amerika Serikat, Gereja Katholik Detroit, mengeluarkan press release dalam The Detroit News. “Manusia diciptakan dari citra Tuhan. Dan kloning hendak mengotorinya,” tulis pernyataan itu.
Sesaat setelah Gereja Vatikan Roma mengeluarkan kecaman atas upaya pengkloningan manusia yang marak dilakukan di negara-negara maju pasca publikasi Dr. Ian Walmut, opini masyarakat barat, khususnya Amerika dan Eropa, menunjukkan sentimen negatif. Hampir 90 % responden majalah Time, Newsweek, BBC, atau CNN Television, menabukan rekayasa genetika. Masyarakat duniapun masih tetap apriori terhadap teknologi kloning ini, kendati Advanced Cell Tecnology (ACT) Inc. dari Worcester, Massachusetts, Amerika Serikat, dalam percobaannya berhasil membiakkan sel tunas (sel stem) menjadi sel tertentu pengganti jaringan tubuh yang rusak sebab penyakit kronis. Meskipun pihak perusahaan bioteknologi itu berusaha meyakinkan masyarakat luas bahwasanya teknologi kloning bisa berguna untuk theurapeutic (proses penyembuhan penyakit), dunia tetap memandang sinis terhadap ide rekayasa genetika tersebut.
2.1.5. Dampak di bidang etika dan moral
Menyisipkan gen makhluk hidup kepada makhluk hidup lain memiliki dampak etika yang serius. Menyisipkan gen makhluk hidup lain yang tidak berkerabat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hukum alam dan sulit diterima manusia. Bahan pangan transgenik yang tidak berlabel juga membawa konsekuensi bagi penganut agama tertentu. Penerapan hak paten pada organisme hasil rekayasa merupakan pemberian hak pribadi atas organisme. Hal ini bertentangan dengan banyak nilai-nilai budaya yang menghargai nilai intrinsik makhluk hidup. Kontroversi tanaman transgenik seperti pelanggaran nilai intrinsik organisme alami, melawan sistem alamiah karena mencampurkan gen berbagai spesies.
2.1.6. Dampak di Bidang Pertanian
Kelompok-kelompok petani di India dan Thailand memandang bioteknologi sebagai ancaman bahaya. Sekelompok petani Thailand, baru-baru ini, membakar patung menteri pertanian sebagai protes diberinya ijin tanaman kapas MG masuk ke negara itu.
Untuk di Indonesia sendiri, menurut Cecep Risnandar, Ketua Komunikasi Nasional Serikat Petani Indonesia, ada empat hal yang menyebabkan benih rekayasa genetik tidak boleh dikembangkan di Indonesia, yaitu :
1. Aspek keamanan pangan. Belum ada satu penelitian pun yang menjamin bahwa pangan rekayasa genetik 100 persen aman untuk di konsumsi. Malah dari beberapa riset akhir-akhir ini, pangan hasil rekayasa genetika menjadi penyebab berbagai penyakit.
2. Aspek lingkungan. Di beberapa negara yang mencoba menanam benih rekayasa genetik terjadi polusi genetik. Lahan-lahan yang bersebelahan dengan tanaman rekayasa genetik berpotensi untuk tercemar oleh gen-gen hasil rekayasa genetik. Sehingga petani di sebelahnya yang menanam tanaman non rekayasa genetik bisa dituduh melanggar hak cipta karena dinilai telah membajak hak cipta perusahaan benih, padahal persilangan tersebut dilakukan oleh alam. Selain itu, tanaman rekayasa genetik berpotensi merusak keseimbangan lingkungan di sekitarnya. Hama dan penyakit tanaman akan lari ke ladang-ladang konvensional sehingga mau tidak mau petani tersebut harus beralih menjadi pengguna benih rekayasa genetik yang harganya mahal.
3. Aspek legal. Belum ada peraturan yang komprehensif mengenai pangan rekayasa genetik. Memang ada UU pangan, UU Budidaya tanaman, dan UU perlindungan varietas tanaman namun belum ada peraturan turunan dari UU tersebut yang secara rinci mengatur produk pangan rekayasa genetik. Sehingga implementasinya di lapangan berpotensi merugikan konsumen dan para petani.
4. Aspek pengusaan ekonomi. Berdasarkan pengalaman petani di berbagai negara dan juga para petani yang pernah menjadi korban percobaan kapas rekayasa genetik di Sulawesi Selatan, gembar-gembor benih yang dikatakan tahan terhadap serangan hama dan produktivitasnya tinggi hanya omong kosong. Malah petani di Sulsel yang beralih ke benih genetik mengalami kerugian besar akibat ketergantungan penyediaan benih. Tiba-tiba harga benih melambung tinggi dan susah dicari, sementara itu petani sendiri tidak bisa mengembangkan benih secara swadaya karena teknologinya sarat modal. Hal ini menyebabkan kerugian yang besar dipihak petani dan mereka mulai membakar ladang-ladang kapas mereka dan segera beralih ke produk non transgenik. Petani hanya dijadikan objek untuk semata-mata keuntungan dagang saja.
2.2. PERATURAN PERUNDANGAN YANG MENGATUR TENTANG PEMANFAATAN PRODUK REKAYASA GENETIKA
Kontroversi penyebarluasan penggunaan Organisme Hasil Modifikasi Genetika (OHMG) atau yang lebih dikenal dengan Genetically Modified Organism (GMO) atau rekayasa genetika (transgenik) telah menimbulkan arus pertentangan antara setuju dan yang kurang atau tidak setuju. Antara lain Kementrian Negara Lingkungan Hidup dan berbagai Organisasi Non-Pemerintah yang meminta peninjauan kembali penggunaan organisme transgenik, karena pertimbangan dampak negatif yang ditimbulkan akibat penggunaan OHMG. Kontroversi mengenai keamanan pangan MG ini telah memicu kampanye penghentian pemasaran bibit dan hasil tanaman pangan Modifikasi Genetika. Dibeberapa negara, di beberapa Negara di Eropa melarang dan menolak benih transgenik masuk ke negaranya, bahkan seperti di AS, India, dan Kanada telah dilakukan penuntutan hukum agar pengadilan melarang tanaman MG.Sebagai bentuk kehati-hatian dari lembaga-lembaga yang berkonsentrasi pada keamanan pangan produk rekayasa genetika, baik secara internasional, regional maupun masing-masing negara, maka oleh pemerintah Republik Indonesia pemanfaatan produk rekayasa genetika di Indonesia harus mengacu kepada beberapa peraturan perundangan, antara lain:
1. UU No. 7/1996 tentang Pangan
2. UU No. 21/2004 tentang Protokol Cartagena
3. PP No. 69/1999 tentang Label dan Iklan Pangan
4. PP No. 28/2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan
5. PP No. 21/2005 , tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik
6. SKB 4 Menteri Th. 1999
7. Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor : HK.00.05.23.3541 Tahun 2008, tentang Pedomanpengkajian Keamanan Pangan Produk Rekayasa Genetik
8. Dan lain-lain
BAB IV
PENUTUP
PENUTUP
Adapun yang menjadi kesimpulan dari makalah ini adalah :
Rekayasa genetika adalah upaya pencangkokan gen dengan teknik rekombinan DNA pada mikroorganisme tertentu. Transgenik atau modifikasi genetika atau rekayasa genetika sebagai bioteknologi modern memberi manfaat yang cukup besar buat kesejahteraan manusia. Seperti misalnya dalam pemenuhan kebutuhan pangan, obat-obatan, pelestarian hutan, sebagai sumber energy baru yang dapat diperbarui dan lain-lain. Akan tetapi juga tidak bias dinafikan bahwa bioteknologi modifikasi genetika juga tidak mutlak tanpa resiko, dan bahkan resiko yang ditimbulkan oleh rekayasa genetika itu sendiri tidak bisa dikatakan lebih kecil dari manfaat yang dibawanya, atau efek negatifnya tidak signifikan. Bahkan boleh jadi dampak akibat modifikasi genetika ini lebih besar daripada manfaatnya. Seperti dampaknya bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan (ekologis), dampak sosial-ekonomi, dampak agama-etika dan moral dan sebagainya.
Bagaimanapun juga setiap teknologi pasti membawa dampak negatif disamping juga bermanfaat, maka agar dampak negatif itu dapat diminimalisir hendaknya para pengembang dan pengguna bioteknologi rekayasa genetika memperhatikan dan melaksanakan peraturan yang telah dibuat berkenaan dengan pengembangan,penggunaan dan penyebarluasan produk rekayasa genetika, sehingga teknologi yang pada dasarnya dibuat dan diciptakan bertujuan untuk mencapai kemaslahatan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Guspri Devi Artanti, ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERIMAAN PETANI TERHADAP PRODUK REKAYASA GENETIKA, Jurnal Gizi dan Pangan, Juli 2010 5(2): 113 – 120
http://www.kulinet.com/baca/pro-kontra-rekayasa-genetika/609/ (diakses 17/8/2012)
http://www.netsains.com/2007/11/ketika-rekayasa genetika%E2%80%9Cmenghiasi%E2%80%9D-peradaban-modern/ (diakses 17/8/2012)
http://forumm.wgaul.com/showthread.php?p=1037482003 (diakses 17/8/2012)
http://groups.yahoo.com/group/mmaipb/message/3472(diakses 17/8/2012)
http://forumm.wgaul.com/showthread.php?p=1037482003(diakses 17/8/2012)
http://cibeureum.wordpress.com/2009/09/02/pro-kontra-rekayasa genetika(diakses 17/8/2012)
Nurhayati Abbas, JURNAL HUKUM NO. 3 VOL. 16 JULI 2009: 423 – 438 Perkembangan Teknologi di Bidang Produksi Pangan dan Obat-obatan serta Hak hak Konsumen, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Sulawesi Selatan
Stansfield, W.D. (1991). Genetika, edisi kedua, Jakarta: Penerbit Erlangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar